Mengikhlaskan adalah salah satu seni dalam mencintai
Kupikir aku tak akan pernah bertemu lagi dengannya. Kupikir dia sudah melupakanku. Namun, Allah menakdirkan kami bertemu kembali. Rasa senang dan rindu yang sempat tertahan akhirnya terbayarkan. Tapi, apakah dia merasakan hal yang sama?
Kami kembali dipertemukan. Aku menyapanya, dan dia pun menyapaku. Entah mengapa, aku selalu bersikap spontan saat bersamanya. Sikapku masih sama seperti dulu. Dan dia pun masih menunjukkan perilaku yang mudah kutebak, seperti dulu hal-hal kecil darinya yang justru membuatku salah tingkah.
Kini dia telah tumbuh menjadi pria yang luar biasa. Dikelilingi oleh orang-orang baik, terus belajar, dan berkembang menjadi sosok pemimpin yang hebat. Dulu aku melihatnya sebagai seseorang yang masih belajar. Kini justru aku merasa akulah yang perlu banyak belajar. Dia jauh melampaui apa yang pernah aku bayangkan.
Dia dikelilingi oleh orang-orang yang menyukainya, yang mendukung dan mendorongnya untuk terus bertumbuh. Aku sangat bersyukur akan hal itu. Bahagia rasanya melihat orang yang kita kagumi dalam diam sedang merasakan kebahagiaan.
Namun di balik semua itu, aku pun merasa diuji. Mungkin kini dia telah menemukan perempuan yang menurutnya menarik, baik di matanya, dan sejalan dengan visi hidupnya. Jujur saja, hatiku terasa sakit melihatnya. Mungkin aku cemburu kepada orang-orang yang setiap hari bisa melihat dan berinteraksi dengannya. Sedangkan aku hanya mampu memandangnya dari kejauhan, tersenyum saat melihatnya bahagia, namun tak punya keberanian untuk melakukan apa pun di hadapannya. Aku hanya bisa berharap yang terbaik untuknya.
Mungkin inilah saat yang tepat untukku mengikhlaskannya. Karena semua ini mulai membuatku kacau. Aku tak ingin hidupku terus dipenuhi dengan rasa cemburu, galau, dan terjebak dalam penantian yang tak pasti. Benar kata orang, bentuk cinta yang paling tulus adalah dengan mengikhlaskan. Bahagia melihat dia bahagia, meskipun bukan bersamaku, dan bukan aku penyebab kebahagiaannya. Inilah saatnya.
Aku tak ingin lagi menggantungkan harapan pada sesuatu yang belum pasti. Lebih baik aku fokus untuk meningkatkan kualitas diriku, memperbaiki kehidupanku, dan melangkah menuju tujuanku. Aku ingin lebih fokus meraih rahmat Allah SWT, membahagiakan kedua orang tuaku, keluargaku, dan diriku sendiri. Soal jodoh, mungkin memang belum waktunya. Saat ini, aku harus memprioritaskan karierku, agamaku, dan hidupku yang masih perlu banyak diperbaiki.
Aku tidak ingin terus larut memikirkan satu pria saja. Aku tak ingin terbutakan oleh satu sosok, padahal di luar sana masih banyak yang mungkin lebih baik, dan mungkin salah satunya adalah jodohku.
Kini aku akan tersenyum, menahan rasa, dan perlahan mengikhlaskannya. Aku akan mendoakan agar dia selalu bahagia dan dimudahkan dalam segala urusannya. Akan kuserahkan semuanya kepada Sang Pencipta dan Pemilik dirinya. Dia hanyalah bagian dari ujian hidupku, dan aku yakin aku mampu melewatinya. Aku bersyukur telah dipertemukan dengannya dan menjadikan semua ini sebagai pelajaran berharga dalam hidupku.
Komentar
Posting Komentar